Alex Karp, CEO perusahaan analisis data Palantir yang bernilai $450 miliar, adalah orang yang suka kontroversi. Dia secara terbuka bertentangan dengan etos yang berlaku di Silicon Valley, memperjuangkan sikap patriotik yang agresif dalam industri teknologi yang sering dikritik karena sikap apatis politiknya, dan bersedia menerima kritik dari mantan karyawan dan jurnalis dengan mendorong dinamika kekuatan global melalui teknologi perusahaannya.
Wawancara Karp baru-baru ini dengan WIRED menggarisbawahi pendekatan tanpa henti ini. Ia memandang Palantir tidak hanya sebagai penyedia teknologi mutakhir namun juga sebagai kekuatan penting dalam membentuk lanskap geopolitik – sebuah pandangan yang menimbulkan kekaguman sekaligus kekhawatiran.
Dari masa-masa awalnya berjuang melawan disleksia di Central High School di Philadelphia hingga perannya saat ini memimpin sebuah perusahaan yang perangkat lunaknya tertanam dalam operasi medan perang militer AS, Karp secara konsisten melampaui ekspektasi. Ia melihat Palantir memiliki posisi yang unik untuk menjembatani kesenjangan antara inovasi Silicon Valley dan kebutuhan pemerintah – sebuah sikap yang menurutnya membedakan Palantir dari raksasa teknologi yang “terbangun” dan lebih sibuk dengan isu-isu sosial daripada solusi praktis.
Karp tidak menyesal atas kerja sama perusahaannya dengan lembaga-lembaga seperti ICE, militer Israel, dan Departemen Pertahanan AS, dan menganggap kekhawatiran tersebut sebagai “omong kosong” yang salah informasi. Dia menegaskan bahwa teknologi Palantir memberdayakan upaya keamanan dan intelijen nasional dengan cara yang tidak dapat ditandingi oleh perusahaan lain, sekaligus menjaga kode etik internal yang kuat untuk mencegah penyalahgunaan.
Kompleksitas etika yang melekat dalam karya Palantir diakui tetapi pada akhirnya ditepis oleh Karp. Meskipun ia mengakui potensi produknya untuk dieksploitasi – bahkan mengklaim telah menarik diri dari proyek tertentu di AS karena kekhawatiran akan pelanggaran hak-hak sipil – ia menegaskan bahwa sifat teknologi Palantir membuatnya sulit untuk disalahgunakan.
Keyakinan yang tak tergoyahkan ini, ditambah dengan sikap menantang terhadap kritik publik, memicu loyalitas yang kuat dari para karyawannya dan meningkatnya perbedaan pendapat dari mereka yang memandang Palantir sebagai kekuatan yang tidak terkendali di tangan entitas yang berkuasa. Visi Karp mengenai perusahaan teknologi yang memprioritaskan keamanan nasional di atas segalanya, bahkan dengan risiko memicu ketegangan sosial, merupakan hal yang kontroversial. Apakah pendekatan ini pada akhirnya akan terbukti menjadi sebuah kemenangan atau tragedi bagi demokrasi itu sendiri masih harus dilihat.



























































